WISATA MUSEUM

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya”

Kalimat itulah yang sering aku baca dan dengar sejak kecil. Tak usah membicarakan bangsa kita yang semakin melupakan akan sejarahnya sendiri. Mudik dan liburan Idul Fitri yang lalu aku pergunakan untuk mengenalkan sedikit sejarah Indonesia kepada AnakLanangku. Dan tak disangka AnakLanangku begitu antusias.

Berawal dari ide Pakde nya untuk mengajak ke KidZania yang ditolak AnakLanangku. Alasannya sudah pernah dua kali kesana, pun sekarang sudah memasuki usia tanggung untuk masuk. Ketika aku usulkan mengunjungi Museum, tak terkira senangnya AnakLanangku.

Pagi itu diawali ke Museum Nasional, atau ketika aku kecil dulu aku mengenalnya dengan nama Museum Gajah. Tak bosan-bosannya AnakLanangku memperhatikan, membaca keterangan dan mengelus-elus beberapa arca.

Gambar

Museum Nasional yang dulu aku kenal bernama Museum Gajah

Gambar

Patung Ganesya yang berkali-kali dikatakan sebagai lambang ilmu pengetahuan

Dari semua yang aku lihat di Museum ini yang paling aku suka adalah fosil tengkorak dan patung Jatayu seperti di bawah ini.

Gambar

Tadinya aku hanya tertarik dengan giginya yang masih utuh dan lengkap. Ternyata tengkorak ini adalah tengkorak Sinanthropus Pekinensis. Berarti tengkorak orang Cina dwong, bukan tengkorak orang Indonesia asli, maksudku…..

Gambar

Patung Jatayu ini berada di area benda-benda yang terbuat dari emas. Kupikir keterangan yang berada di bawahnya menceritakan sejarah pembuatannya atau berapa kilogram emas yang dibutuhkan untuk membuat patung setinggi kira-kira satu meter itu. Ternyata hanya menerangkan keris ini adalah bla bla bla….laaah….mana kerisnya ? Ternyataa…..di tangan kanannya itu. Mana juga yang terbuat dari emas ha ha ha…

Belum puas rasanya kami menikmati Museum Nasional ini, tapi waktu terasa begitu singkat, padahal kami masih berencana mau mengunjungi Museum Fatalhillah.

Sesampainya di area Kota Tua. Alamaaak…..kami merasa kecewa. Bagaimana tidak, tadi kami di Museum Nasional bertemu dengan sesama pengunjung yang wangi dan banyak pula turis asing, yang setiap kami berpapasan saling menyapa dengan senyum atau saling mengangguk, serta berbicarapun hanya berbisik. Tidak satu pengunjungpun berani membuang sampah sembarangan. Sedangkan disini, di area Kota Tua, oh TIDAAAAK…..!!! Pengunjung tumplek bleg. Sepeda kuno sewaan berseliweran, penjaja kaki lima seenaknya menggelar dagangannya, sampah dimana-mana. SEDIH.

Tapi tekad kami sudah telanjur akan berwisata Museum ya sudahlah. Dan kami mengawali mengunjungi Museum Keramik yang berada di sisi kanan Museum Fatahillah. Apakah karena pengaruh pandangan pertama tentang Kota Tua atau memang kami bukan penyuka atau penikmat seni, maka berlalulah kami secepat yang kami bisa hanya sekedar, ooh…ini to Museum Keramik. Padahal di dalamnya ada beberapa lukisan karya pelukis terkenal. Kami melaluinya tanpa kesan 😦

Kalau saja mood ku bagus, gedung-gedung tersebut pasti menjadi obyek yang sangat bagus untuk difoto, walaupun hasilnya ga akan sebagus fotografer handal. Seperti kata si Mbak Pramusaji di kafe tempat kami makan siang. Bahwa bangunan Kafe ini adalah tertua kedua setelah Gedung Fatahillah. Tapi yang seperti aku tulis tadi, moodku sudah ambyar.

Setelah makan siang kami bertekad untuk memasuki Museum Fatahillah, dan kali ini kami harus mengalah dengan keadaan. Aku nggak kuat bok lihat gelombang manusia yang semrawut keluar masuk museum, belum lagi aroma minyak wangi murahan bercampur keringat, serta sampah berserakan….

Kami putuskan untuk masuk di Museum Wayang yang terletak di kiri Museum Fatahillah. Di Museum ini kami lumayan menikmatinya. Disamping pengunjung yang relatif tidak terlalu ramai, juga wayang-wayangnya memang menarik untuk disimak. Serta di akhir Museum AnakLanangku memborong cinderamata untuk teman-teman dan guru pianonya.

Gambar

Prasasti di tembok taman penghubung bangunan depan dengan bangunan utama. Hmmm…atinya apa ya ?!

Gambar

Wayang kulit Rahwana yang berukuran besar dan berwarna merah yang terasa menyolok diantara wayang lainnya.

Gambar

Kumpulan wayang yang diberi judul Dawud Mendapat Wahyu Keraton. Dari sinilah baru aku sadar bahwa Wayang dari dahulu kala dipakai sebagai propaganda terselubung, bukan saja pada masa Hindu, Budha maupun oleh Sunan Kalijaga yang menyebarkan agama Islam, tetapi juga agama Kristen.

Ingin rasanya kami menikmati Kota Tua sampai fajar tenggelam, tapi apa daya kaki kami serasa tak mampu menopang badan kami, akhirnya hampir petang kami pulang ke rumah dengan sejuta kenangan indah dan menjengkelkan.