Namanya Sihabuddin Laisbuke.
Pemuda 22 tahun ini berasal dari Amanuban Timur, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Nusa Tenggara Timur
Kami memanggilnya sesuka kami, kadang Sihab, kadang Buddin, Udin, bahkan Kaka Nyong.
Diantara mayoritas masyarakat Indonesia Timur yang beragama Kristen, keluarga Sihabuddin adalah sebagian kecil yang beragama Islam.
Perbedaan keyakinan membuat semakin saling menghormati dan saling mengasihi diantara mereka
Terlahir dari Ayah yang seorang guru SD dan Ibu sebagai ibu rumah tangga biasa yang waktu luangnya dipergunakan untuk menenun.
Masa kecil Sihabuddin dilalui sebagaimana layaknya anak di desanya.
Tetapi Ayahnya ingin ia sebagai anak tertua dari 6 bersaudara mengenyam pendidikan tinggi agar dapat mengangkat kehidupan keluarga.
Lulus SD di Amanuban, Sihabuddin remaja melanjutkan sekolah di MTs dan MTA Mulkuro Bogor.
Lulus dari MTA dengan nilai lumayan bagus, Sihabuddin meneruskan kuliah di Universitas Juanda, Bogor jurusan Tarbiyah.
Sayang, hanya setengah semester ia mengenyam pendidikan disana. Karena keadaan mengharuskannya pindah ke Universitas Ibnu Kholdun Bogor yang menurutnya biayanya lebih ringan dibandingkan dengan Universitas Juanda.
Tetapi sayang, di Universitas Ibnu Kholdun pun hanya bertahan setengah semester.
Tahun 2016 pulanglah si Kaka Nyong ke kampung halaman, karena si Ayah tidak mampu lagi membiayai sekolahnya.
Ketika tahun lalu, Dinas Koperasi, Industri dan Perdagangan kabupaten TTS mengadakan pelatihan membatik, dengan antusias kaka nyong Sihabuddin mendaftar demi ingin membantu kehidupan keluarganya.
Ingin Kaka Nyong membantu ekonomi keluarga dengan menenun seberti Ibunya, tapi apa daya alat tenun hanya satu untuk dipakai ibunya.
Dan ketika ia dikirim ke kota Soe apa salahnya ia belajar membatik. Walaupun secara tingkat kerumitannya tenun lebih rumit dari pada batik, ia berharap bisa menghasilkan sesuatu untuk keluarga dan daerahnya.
Selama pelatihan, pemuda pendiam ini sangat rajin mengikuti setiap pelajaran yang kami ajarkan. Dan sering pula tak segan-segan membantu ibu-ibu peserta lain.
Dari sekedar membantu ternyata membuat Sihabuddin menjadi mahir dalam mempraktekkan membatik. Terutama batik cap. Dan hasil karyanya pun rapi bak pembatik profesional.
Setahun telah berlalu, apa kabar mereka semua ?
Sudahkah mereka mempraktekkan dan memasarkan batik TTS ?
Yang terhormat bapak Viktor Bungtilu Laiskodat bapak Marius Jelamu, bapak Paulher kaka nyong Erwin Haekase, tidakkah sia-sia mereka sudah belajar dan semangat ternyata tidak berkelanjutan ?
Apa salahnya jika kabupaten TTS mempunyai batik sendiri, bukankah akan mensejahterakan Sihabuddin Sihabuddin lainnya ?
Sangat disayangkan pelatihan yang sudah mereka dapat lalu hilang ditelan ombak pantai Kolbano…
Ingin rasanya suatu ketika saya menjumpai batik TTS dipakai di Jawa, bahkan di Indonesia dan memperkaya khasanah perbatikan Indonesia.
Salam sayang dari kami di Jawa.
Uis neno nokan kit
Tuhan Memberkati Kita semua.
Amin